ASKEP LIMFE EDEMA
Nama Kelompok Kelas III.B :
1. Baiq
Fitrihan Rukmana
2. Ade
Rifky Ardyansah
3. Hendi
Utama Arya Wijaya
4. Landri
Lilita
5. Ni
Putu Sasmi Larasati
6. Rauhul
Jannah
7. Septia
Pritayani
SEKOLAH
TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
TAHUN
AJARAN 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT,
karena atas rahmat-Nya yang telah
diberikan pada kami, sehingga makalah “Askep
Limfe Edema” ini dapat disusun dengan cermat dan dapat
diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah
ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah
memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat dilakukan
dengan optimal nantinya.
Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah
ini tidak jauh dari kesalahan serta kekurangan, dan kami akan berusaha
memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya, kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan
dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Mataram ,17 November 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang berfungsi
mengalirkan limfa atau getah bening di dalam tubuh. Limfa (bukan limpa) berasal
dari plasma darah yang keluar dari sistem kardiovaskular ke dalam jaringan
sekitarnya. Cairan ini kemudian dikumpulkan oleh sistem limfa melalui proses
difusi ke dalam kelenjar limfa dan dikembalikan ke dalam sistem sirkulasi.
Limfangitis akut mempengaruhi
anggota penting dari sistem kekebalan tubuh-sistem limfatik. Limbah bahan-bahan
dari hampir setiap organ dalam tubuh mengalir ke pembuluh limfatik dan akan
disaring dalam organ kecil yang disebut kelenjar getah bening. Benda asing,
seperti bakteri atau virus, diproses dalam kelenjar getah bening untuk
menghasilkan respon imun untuk melawan infeksi.
Limfadenitis Tuberkulosis, suatu
peradangan pada satu atau lebih kelenjar getah bening. Penyakit ini masuk dalam
kategori tuberkolosis luar. Tuberkolosis sendiri dikenal sejak 1000 tahun
sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno.
Lymphedema terdiri dari dua kata
yaitu Lymph (limfe) atau cairan getah bening dan Edema atau sembab. Limfe
adalah cairan tubuh yang mengalir di dalam pembuluh limfe dan terdapat di
seluruh bagian tubuh. Jika darah membawa makanan, maka limfe mengandung limfosit
yang berguna untuk memerangi penyakit seperti infeksi dan kanker.
Elephantiasis/filariasis merupakan suatu infeksi parasit
yang menyerang pembuluh limfe, sehingga terjadi pembesaran satu atau lebih
anggota gerak yang diserangnya. (Christine
Brooker, 2001)
B. Tujuan
a) Tujuan
Umum
Adapun tujuan umum penulis menyusun makalah ini untuk
mendukung kegiatan belajar mengajar jurusan keperawatan khususnya di mata
kuliah “Keperawatan Kardiovaskular” dengan bahan ajar “Asuhan Keperawatan pada
Klien Limfe Edema”.
b) Tujuan
Khusus
ü Untuk mengetahui konsep dasar dari
limfe edema seperti :
1. Definisi
2. Etiologi
3. Pathofisiologi
4. Penatalaksanaan
5. Komplikasi
6. Pemeriksaan
diagnostic
ü Untuk mengetahui proses keperawatan
pada limfe edema
C. Rumusan
masalah
1.
Apa
definisi dari limfa edema.
2.
Apa
saja penyebab dari limfa edema.
3.
Bagaimana
pathofisiolgi dari limfa edema.
4.
Bagaimana
penatalaksanaan dari limfa edema.
5.
Apa
saja kompikasi dari limfa edema.
6.
Apa
saja pemeriksaan diagnostik dari limfa edema.
D. Manfaat
Dengan penyusunan makalah ini kita bias mengetahui konsep
dasar dari limfa edema, sehingga nantinya pada saat memberikan asuhan
keperawatan pada klien kita bias memberikan secara baik dan benar sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio-kultural-spritual.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
LIMFEDEMA
1) Definisi
Limfedema disebabkan oleh obstruksi dan dilatasi pembuluh
limfe dengan akumulasi cairan interstisial di tempat yang dialiri oleh pembuluh
limfe bersangkutan. Penyebab obstruksi yang paling sering ditemukan adalah
keganasan, reseksi limfonodi regional, fibrosis pasca-radiasi, filariasis,
thrombosis pasca-inflamasi dengan pembentukan parut limfatik.
Kalau berjalan lama, limfedema menyebabkan fibrosis
interstisial. Kalau jaringan kutaneus turut terkena, limfedema menimbulkan
gambaran kulit jeruk (peau d’orange) pada kulit dengan disertai ulkus dan
indurasi berwarna merah-coklat. Akumulasi chyle dapat terjadi sekunder dalam
setiap rongga tubuh karena ruptur pembuluh limfe yang melebar dan mengalami
obstruksi. (schoen, 2009)
2) Penyebab
Linfedema yaitu pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan
pengaliran cairan getah bening kembali kedalam darah. Pada umumnya dikenal dua
bentuk limfaedema, yakni yang kongenital dan yang didapat. Limfedema kongenital
merupakan suatu kelainan bawaan yang terjadi akibat tidak terbentuknya atau
terlalu sedikitnya pembuluh getah bening, sehingga tidak dapat mngendalikan
seluruh getah bening. Kelainan ini hampir seluruhnya mengenai tungkai dan
jatang pada lengan. Kelainan ini lebih sering terjadi pada anak perempuan
.Kasus yang lebih banyak ditemukan adalah limfadema sekunder / yang didapat.
Biasanya kelainan ini merupakan akibat dari:
ü Pembentukan jaringan parut karena
infeksi berulang pada pembuluh getah bening, sehingga terjadi gangguan aliran
cairan getah bening. Contohnya pada infeksi parasit tropis filaria yang
menyebabkan kaki gajah (filariasis). Selain itu kumpulan cacing dewasa yang
terjadi pada infeksi itu juga menyebabkan penyumbatan pembuluh dan kelenjar
limfe.
ü Trauma bedah dan radiasi terutama
setelah pengobatan kanker. Contohnya pada kanker payudara di mana bisa terjadi
penyebaran sel sel kanker ke pumbuluh getah bening dan kelenjar getah bening
sehingga harus diangkat atau di sinari dengan radiasi. Bila hal ini terjadi
maka bisa terjadi gangguan pada aliran limfe sehingga menimbulkan penumpukan
cairan (edema / bengkak)
ü Trauma akibat lainnya misalnya
kecelakaan
ü Peradangan atau infeksi yang lain.
Peradangan pada sistem limfatik biasanya dimulai dengan sellitis (infeksi
jaringan bawah kulit) atau limfangitis (radang saluran limfe) yang berulang.
Dapat terjadi dengan atau suhu yang meningkat, seringkali terlihat bercak merah
yang makin melebar, akhirnya sebagian tungkai akan bengkak dan merah, panas serta
perih. Kelenjar limfe di bagian proksimalnya juga akan ikut bengkak dan nyeri
pada perabaan.
ü Bisa juga akibat penyakit lain,
seperti gagal jantung, sirosis hati, atau gagal ginjal, yang menyebabkan
kapasitas sistem limfe relatif tidak mencukupi beban limfe yang berlebihan.
3) Gejala
Limfedema paling sring terjadi di tungkai, namun dapat
mengenai bagian tubuh yang lain seperti leher dan lengan. Pada limfedema
kongenital, pembengkakan dimulai secara bertahap pada salah satu atau kedua
tungkai. Pertanda awal dari limfedema bisa berupa bengak di kaki, yang
menyebabkab sepatu terasa sempit pada waktu sore. Pada stadium awal,
pembengkakan akan hilang jika tungkai di angkat. Lama-lama pembengkakan tampak
lebih jelas dan makin kearah atas tidak menghilang secara sempurna meskipun
setelah beristirahat semalaman.
Pada limfedema yang didapat kulit tampak sehat tapi
mengalami pembengkakan. Penekanan pada daerah yang membengkak tidak
meninggalkan lekukan. Pada kasus yang jarang, lengan maupun tungkai yang
membengkak tampak sangat besar dan kulitnya tebal serta berlipat-lipat,
sehingga hampir menyerupai kulit gajah (elefantiasis).
Bila sudah terjdi lifedema yang sebegitu parahnya, tentu
saja menyebabkan gangguan dalam fungsi maupun secara estetika. Selain itu kulit
dari bagian yang membengkak juga rentan mengalami trauma atau infeksi berulang
(selulitis) sehingga dapat memperberat kelainan yang sudah terjadi.
Peradangan pada sistem limfatik biasanya dimulai dengan
selulitis atau limfangitis yang berulang. Dapat terjadi dengan atau tanpa suhu
yang meningkat, seringkali terlihat bercak merah yang makin hari makin melebar,
akhirnya sebagian besar tungkai akan bengkak dan merah, panas serta perih.
Kelenjar limfe di bagian proksimalnya juga akan ikut membengkakdan nyeri pada
perabaan.
4) Pemeriksaan
diagnostik
Untuk mendiagnosis limfedema maka diperlukan rangkaian
pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang.
Akan ditanyakan sejak kapan kelainan itu muncul, hal apa yang terjadi sebelum
kelainan muncul, dan pertanyaan yang mengarah pada pencarian penyebab.
Pemeriksaan fisik tentu dengan melihat dan meraba. Limfadema
biasanya tidak disertai dengan pelebaran pembuluh darah setempat, berbeda
dengan pembengkakan yang disebabkan oleh kelainan pembuluh darah. Kemudian
dilakukan penekanan apakah bagian yang di tekan itu bisa kembali seperti semula
atau tidak. Biasanya kalau tahap awal bila ditekan masih bisa kembali lagi.
Jika sudah tahap lanjut dimana sudah tidak bisa kembali lagi, berarti sudah ada
pengerasan jaringan di dalamnya.
Selain itu ada pemeriksaan penunjang yang disebut
limfangiografi, yakni dengan memasukan zat kontras kedalam pembuluh limfe
kemudian di rontgen. Nantinya bisa dilihat pembuluh mana yang tersumbat.
ü Pemeriksaan diagnostic
ü Pemeriksaan darah lengkap
ü Foto rontgen
ü Hitung darah lengkap.
ü Foto rontgen.
ü Serologi.
ü Uji kulit.
ü Limfangiografi
5) Terapi
Limfedema tidak ada obatnya. Pada limfadema ringan, untuk
mengurangi pembengkakan bisa menggunakan perban kompresi. Pada limfedema yang
lebih berat, untuk mengurangi pembengkakan bisa digunakan stoking pneumatic
(stoking khusus yang bisa memberikan efek penekanan tertentu) selama 1-2 jam
perhari. Jika pembengkakan berkurang untuk mengendalikan pembengkakan,
penderita harus menggunakan stoking elastis setinggi lutut setiap hari, mulai
dari bangun tidur sampai menjelang tidur malam hari. Pada limfadema di lengan,
untuk mengurangi pembengkakan bisa digunakan stoking pneumatic (stoking khusus
yang bisa memberikanb efek penekanan tertentu) setiap hari. Pada elefantiasis
atau limfedema yang sangat berat mungkin perlu dilakukan pembedahan ekstensif
untuk mengangkat sebagian besar jaringan yang membengkak
Tindakan itu adalah cara yang efektif walau memang hasilnya
tidak selalu memuaskan, apalagi dari segi estetika. Efektif karena memang perlu
dilakukan adalah membuang kelenjar dan pembbuluh yang menggalami pembengkakan
maka limfadema pun akan hilang. Namun harus tetap diperhatikan bahwa operasi
jangan sampai mengenai jaringan atau organ penting lain di sekitarnya. Selain
itu juga perlu di pastikan bahwa pasca operasi tidak malah terjadi gangguan
aliran limfe kembali.
Dari sisi estetika, walau bengkak sudah teratasi tapi memang
meninggalkan bekas yang tidak menyenangkan. Baik itu akibat tindakan bedah
(bekas jahitan) ataupun dari kelainannya sendiri. Limfedema yang parah biasanya
terjadi pada area tubuh yang luas sehingga tindakan operasi pun harus dilakukan
sayatan yang cukup .panjang sehingga menyisakan luka bekas operasi yang cukup
jelas. Selain itu kulit yang tadinya mengalami limfedema biasanya akan lbih
menebal, warna kulit lebih gelap dan menjadi kering atau kasar. Belum lagi kalo
pasien memiliki bakat keloid pada luka bekas operasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
a)
Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan fisik secara umum maupun
terlokalisir.
2. Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien dengan limfedema meliputi beberapa
penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai ststus emosi, kognitif, dan prilaku klien mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun
masyrakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
3. Pemeriksaan
fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik disini dilakukan secara per-sistem yaitu dari B1-B6.
ü B1
(Breathing)
Inspeksi : Dispnea pada kerja atau istirahat, batuk
kering (non-produktif). Terjadi distres pernafasan, contoh peningkatan
frekuensi pernapasan dan kedalaman, penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
ü B2 (Blood)
Inspeksi:
Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa
adalah kejadian yang jarang). Takikardia, disrutmia. Ikterus sklera dan ikterik
umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obstruksi duktus empedu oleh pembesan
nodus limfe (mungkin tanda lanjut). Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.
ü B3 (Brain)
Gejala
: Nyeri syaraf ( neuralgia ) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran
nodus limfa pada brakial, lumbar, dan, pleksus sakral. Status mental: letargi, menarik diri,
kurang minum terhadap sekitar. Paraplegia ( kompresi batang spinal dari tubuh
vetebral, keterlibatan diskus pada kompresi/ degenerasi, atau kompresi suplai
darah terhadap batang spinal).
ü B4
(Bladder)
Perubahan karakteristik urine dan/ atau feses. Penurunan
haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretral/ gagal ginjal).
Disfungsi kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut).
ü B5
(Bowel)
Anoreksia/kehilangan nafsu makan. Disfagia ( tekanan pada
esofagus ). Adanya penurunan berat badan yang tak dapat tak dapat dijelaskan
sama dengan 10% atau lebih dari berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan
tanpa upaya diet, pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau tangan kanan (
sekunder terhadap kompresi vena kava superioroleh pembesaran nodus limfe).
Ekstrimitas: edema ekstrimitas bawah sehubungan dengan obstruksi vena kava inferior
dari pembesaran nodus limfe intraabdominal ( non-Hodgkin). Asites ( obstruksi
vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraab-dominal).
ü B6
(Bone)
Kelelahan, kelemahan, atau malaise umum. Kehilangan
produktivitas dan penurunan toleransi latihan. Kebutuhan tidur dan dan
istirahat lebih banyak. Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban, dan
tanda lain yang menunjukkan kelelahan.
b)
Diagnosa Keperawatan
Diagnose mungkin muncul pada klien
limfedema yaitu:
1. Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan kerusakan jaringan, dan tidak adekuatnya pertahanan tubuh
primer.
2. Nyeri akut berhubungan dengan
gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot
3. Resiko tinggi gangguan integritas
kulit atau jaringan berhubungan dengan factor internal: perubahan sirkulasi dan
deficit imunologis
4. Hipertermi berhubungan dengan proses
penyakit
c) Intervensi
Keperawatan
Dx I : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan
jaringan, dan tidak adekuatnya pertahanan tubuh primer.
|
|
Tujuan : Dalam waktu…x 24 jam
infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil : individu mengenal
factor-faktor resiko, mengenal tindakan pencegahan atau mengurangi factor
infeksi.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Pantau
tanda vital khususnya selama awal terapi
|
Selama
periode waktu ini, potensial komplikasi dapat terjadi.
|
Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan).
|
Deteksi
dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera
dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
|
Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
|
berguna secara profilaktik untuk mencegah infeksi.
|
Pertahankan
perawatan luka aseptic, jika terjadi luka dengan balutan kering
|
Melindungi
pasien dari kontaminasi silang selama penggantian balutan. Balutan basah
bertindak sebagai sumbu retrograt, menyerap kontaminan eksternal.
|
Bantu
drainase bila diindikasikan
|
Dapat
diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir
|
Dx II : Nyeri akut berhubungan
dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot
|
|
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …..x24 jam,diharapakan nyeri yang
dirasakan pasien berkurang
Kriteria
hasil: klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, klen tampak rileks dan
mampu tidur/istirahat dengan tepat
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji
nyeri, catat lokasi, karakteristik, intensitas (skala 0-10)
|
Membantu
mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesic atau dapat
menyatakan terjadinya komplikasi
|
Dorong
pasien untuk menyatakan masalah
|
Menurunkan
assietas atau takut dapat meningkatkan relaksasi atau kenyamanan
|
Dorong
penggunaan teknik relaksasi, misalnya bimbingan imajinasi, visualisasi,
berikan aktivitas senggang
|
Membantu
pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian,
sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
|
Kolaborasi
: berikan obat sesuai indikasi, misalnya narkotik, analgesic.
|
Menurunkan
nyeri, meningkatkan kenyamanan
|
Dx III : Resiko tinggi gangguan
integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan factor internal: perubahan
sirkulasi dan deficit imunologis
|
|
Tujuan:
tidak terjadi gangguan integritas kulit
Criteria
hasil: mencapai pemuluhan luka tepat waktu tanpa komplikasi
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Pantau
tanda vital dengan sering, periksa luka dengan sering terhdap bengkak insisi
berlebihan, inflamasi, drainase.
|
Mungkin
indikatif dari pembentukan hematoma atau terjadinya infeksi, yang menunjang
perlambatan pemulihan luka dan meningkatkan resiko pemisahan luka atau
dehisens
|
Tingkatkan
nutrisi dan masukan cairan adekuat
|
Membantu
untuk mempertahankan volume sirkulasi yang baik untuk perfusi jaringan dan
memenuhi kebutuhan energy seluler untuk memudahkan proses regenerasi atau
penyembuhan jaringan.
|
Inspeksi
seluruh area kulit, adanya kemerahan, pembengkakan.
|
Kulit
biasanya cendrung rusak karena perubahan sirkulasi perifer ketidakmampuan
meraasakan tekanan,gangguan pengaturan suhu
|
Lakukan
masasse dan lubrikasi pada kulit dengan lotion atau minyak.
|
Meningkatkan
sirkulasi dan melindungi permukaan kulit, mengurangi terjadinya ulserasi.
|
Dx IV : Hipertermi b.d proses
penyakit
|
|
Tujuan : Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh pasien menjadi stabil, nyeri otot
hilang.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji suhu tubuh pasien, bila
diperlukan lakukan observasi ketat untuk mengetahui perubahan suhu klien
|
R/
mengetahui peningkatan suhu tubuh,
|
Beri kompres hangat
|
R/ mengurangi panas dengan
pemindahan panas secara konduksi. Air hangat mengontrol pemindahan panas
secara perlahan tanpa menyebabkan hipotermi atau menggigil
|
Anjurkan pasien untuk menggunakan
pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat
.
|
R/ Memberikan rasa nyaman dan
pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan
suhu tubuh
|
Observasi intake dan output, tanda
vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi
|
R/ Mendeteksi dini kekurangan
cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda
vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
|
Kolaborasi : pemberian cairan
intravena dan pemberian obat antiperetik sesuai program.
|
R/ Pemberian cairan sangat penting
bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan
panas tubuh pasien.
|
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Limfedema
adalah disebabkan oleh obstruksi dan dilatasi pembuluh limfe dengan akumulasi
cairan interstisial di tempat yang dialiri oleh pembuluh limfe bersangkutan.
Penyebab obstruksi yang paling sering ditemukan adalah keganasan, reseksi
limfonodi regional, fibrosis pasca-radiasi, filariasis, thrombosis
pasca-inflamasi dengan pembentukan parut limfatik. Kalau berjalan lama,
limfedema menyebabkan fibrosis interstisial. Kalau jaringan kutaneus turut
terkena, limfedema menimbulkan gambaran kulit jeruk (peau d’orange) pada kulit
dengan disertai ulkus dan indurasi berwarna merah-coklat. Akumulasi chyle dapat
terjadi sekunder dalam setiap rongga tubuh karena ruptur pembuluh limfe yang
melebar dan mengalami obstruksi. (schoen, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
1) Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan,
Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
2)
Brunner / Suddarth. ( 2000). Buku
Saku Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.
3)
Diagnosa Nanda ( NIC dan NOC )
2007-2008.
4)
Tulus Putra, Sukman dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran
jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar