SEKOLAH
TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
TAHUN
AJARAN 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena
atas rahmat-Nya yang telah
diberikan pada kami, sehingga makalah “Penyediaan
Jamban Keluarga” ini dapat disusun dengan cermat dan dapat
diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu penyusunan makalah ini dan
terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang telah memberikan
kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat dilakukan
dengan optimal nantinya.
Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak
jauh dari kesalahan serta kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya
untuk proses pembelajaran kami. Dan tentunya, kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun, agar kami dapat memperbaiki kekurangan dan dapat lebih
baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Mataram ,17 November 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga
saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah
itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana
undang-undang (RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus,
WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem
regulasi di Indonesia.
Di
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal
disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta
MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman
untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban
keluarga. Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga
dan Sekolah 1998 dari Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban
mencakup bangunan atas yang antara lain terdiri: plat jongkok, leher angsa,
lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
Di
dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah
fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan
penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang
Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus
menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah
karyawannya.
Cukup
menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor
24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya
fasilitas jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air
besar dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang
disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi
adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan
Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban
dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang buang air kecil (urinal).
Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan limbahnya, baik secara
setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah
istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan
informasi tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.
Adanya ketidaksamaan istilah tentang
jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses masyarakat untuk membuang
hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat menggambarkan
ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik
tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan
tempat buang air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari
59,86% itupun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam
laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat
buang air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang
memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya
kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut Laporan
Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa
masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih
lebih dari 40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang
di dunia yang tidak punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai
informasi ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan
publik untuk sanitasi. Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian
tentang jamban atau apapun tentang kesepakatan namanya, tetapi juga harus
adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang ini agar kerugian yang
hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera
diselesaikan.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang
menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari angka tersebut hanya
separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan penduduk yang
menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare sebagai
salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu
diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi
serta nomor 5 bagi semua umur.
B. Tujuan
Penulisan
Tujuan umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan
keluarga tentang jamban sehat
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep
dasar jamban sehat
2. Untuk mengetahui konsep
keperawatan jamban sehat
C. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Konsep Jamban Sehat ?
2. Bagaimana Konsep Keperawatan
Jamban Sehat ?
D. Manfaat
1.
Kotoran tidak berserakan disembarang
tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air
2.
Lingkungan kita menjadi bersih, sehat
dan bebas dari bau
3.
Mudah dan aman digunakan setiap saat.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman,
sebut saja wilayah itu setingkat dengan desa atau kelurahan. Pernahkah
kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki
jamban. Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah
yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal
pembuangan kotoran manusia.
Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah
dipastikan mereka mereka itu mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau
tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi yang telah memiliki jamban
bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu , terkadang walaupun
memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain, karena alasan
tertentu.
B.
Kerugian tidak memiliki jamban
Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB
sembarangan, maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak
penyakit lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan
maka ancaman penyakit itu semakin tinggi itensitasnya. Keadaan ini sama
halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit pada
suatu waktu cepat atau lambat.
Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan
demikian wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan
BAB di jamban banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah,
tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka
tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan
jamban.
C.
Kriteria Jamban Sehat
Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :
- Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular
penyakit, seperti : Kecoa, tikus,
lalat dll.
- Tidak menimbulkan bau
- Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke
mana mana
- Tidak mencemari
sumber air bersih
- Tidak menggangu pemandangan/estetika
- Aman digunakan
Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu
tempat, bisa lobang jamban atau septik
tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai.
Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher angsa
akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau
septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi
syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic
tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada
misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari
10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi
syarat no 5 dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik
kekuatannya maupun konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan
rapi.
Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari,
misalnya membersihkan dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air
agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah
digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air
sabun, lisol kedalam
kloset.
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai
jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya
saja harus diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak
menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban
sehat. Ada tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat
tersebut:
- Tidak mencemari air
Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar
lubang kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan
terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat
atau diplester.
- Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10
meter
- Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur
agar air kotor dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
- Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke
dalam selokan, empang, danau, sungai, dan laut
- Tidak mencemari tanah permukaan
- Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun,
pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.
- Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk
dikuras kotorannya, atau dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang
galian.
- Bebas dari serangga
- Jika menggunakan bak air atau penampungan air,
sebaiknya dikuras setiap minggu. Hal ini penting untuk mencegah
bersarangnya nyamuk demam berdarah
- Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap
dapat menjadi sarang nyamuk.
- Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat
celah-celah yang bisa menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya
- Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
- Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus
tertutup
- Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan
- Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus
ditutup setiap selesai digunakan
- Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher
angsa harus tertutup rapat oleh air
- Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan
pipa ventilasi untuk membuang bau dari dalam lubang kotoran
- Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl
licin. Pembersihan harus dilakukan secara periodic
- Aman digunakan oleh pemakainya
- Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada
dinding lubang kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman
bambu atau bahan penguat lai yang terdapat di daerah setempat
- Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi
pemakainya
- Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang
kotoran
- Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda
lain ke saluran kotoran karena dapat menyumbat saluran
- Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang
kotoran karena jamban akan cepat penuh
- Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati.
Gunakan pipa berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan
minimal 2:100
- Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
- Jamban harus berdinding dan berpintu
- Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga
pemakainya terhindar dari kehujanan dan kepanasan.
E. Kriteria Jamban Sehat
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara
tinja dan lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
1. Mencegah kontaminasi ke badan air
2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja
3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta
binatang
4. Mencegah bau yang tidak sedap
5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi
pengguna.
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai
banyak bentuk pilihan, tergantung jenis material penyusun maupun bentuk
konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian
utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian tengah
(slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).
1. Rumah jamban
(bangunan bagian atas)
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan
dinding. Dalam prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :
- Sirkulasi udara yang
cukup
- Bangunan mampu
menghindarkan pengguna terlihat dari luar
- Bangunan dapat
meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Kemudahan akses di
malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local
- Ketersediaan fasilitas
penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi
dengan tempat berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup,
sedangkan pada kondisi jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini
digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di didalamnya.
Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan
yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton,
bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada
bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke dalam
sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan
membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan
sabun digunakan untuk cuci tangan.
Pertimbangan untuk
bangunan bagian tengah:
- Terdapat penutup pada
lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.
- Dudukan jamban dibuat
harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh, atau
terperosok).
- Bangunan dapat
menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.
- Mudah dibersihkan dan
tersedia ventilasi udara yang cukup.
3. Penampung tinja
(bangunan bagian bawah)
Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk
persegi, lingkaran, bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi
tanah dan permukaan air tanah di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil,
penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian dengan bahan penguat
seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain – lain.
Pertimbangan untuk
bangunan bagian bawah antara lain:
- Daya resap tanah
(jenis tanah)
- Kepadatan penduduk
(ketersediaan lahan
- Ketinggian muka air
tanah
- Jenis bangunan, jarak
bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih baik
diatas 10 m)
- Umur pakai
(kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)
- Diutamakan dapat
menggunakan bahan local
- Bangunan yang permanen
dilengkapi dengan manhole
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh
pada penyebaran penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai
penularan ini harus dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut
berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh
komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation
Free (ODF).
Suatu masyarakat disebut ODF jika :
- Semua masyarakat telah
BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/ kotoran
bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
- Tidak terlihat tinja
manusia di lingkungan sekitar
- Ada penerapan sanksi,
peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di
sembarang tempat
- Ada mekanisme
monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai jamban
sehat
- Ada upaya atau
strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air
Besar Sembarangan, pada tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang
disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di
suatu komunitas, telah:
- Mempunyai akses dan
menggunakan jamban sehat
- Mencuci tangan pakai
sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang bayi, setelah
menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
- Mengelola dan
menyimpan air minum dan makanan yang aman
- Mengelola limbah rumah
tangga (cair dan padat).
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF,
dilakukan dengan proses verifikasi.
BAB III
PENGAMATAN / SURVEY LAPANGAN
Untuk mempercepat akses masyarakat terhadap
Jamban Keluarga pemerintah Kec. Praya melalui dinas Kesehatan dalam dua tahun
terakhir meluncurkan program Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL) di
Lombok Tengah program ini hanya dilaksanakan di Kec. Praya Untuk tahun 2011
setiap kecamatan akan dijadikan 1 sampai 2 DPKL dimana masing-masing desa
diberikan 15 paket stimulan Jaga. DPKL adalah desa yang masyarakatnya telah
memiliki kelembagaan dalam suatu wadah/forum desa sehat/desa siaga yang
melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan dengan swadaya untuk menjadi contoh
dan tempat orientasi bagi desa lain dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
Dengan DPKL ini diharapakan
berkembangnya kelembagaan di masyarakat, meningkatnya kondisi kesehatan
lingkungan sehingga terjadi penurunan penyakit yang berkaitan dengan lingkungan
dan dapat menjadi sumber motivasi bagi desa lain dan dapat mendukung kegiatan
program desa siaga sebagai upaya menuju desa sehat. Prioritas pengembangan DPKL
ini masyarakat kurang mampu akan tetapi ada kesanggupan untuk menyelesaikan
kegiatan ini, belum pernah mendapatkan proyek sanitasi/air bersih, cakupan
sanitasi dan air bersih rendah, dan tingginya kasus penyakit berbasis lingkungan.Masyarakat
yang mendapatkan program ini akan diberikan paket stimulan jamban keluarga
dalam bentuk barang, seperti septik tank rangka kayu ulin, closed, pipa paralon
dan elbow, untuk hal lainnya dibebankan pada masyarakat sebagai bentuk swadaya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan
yang digunakan untuk tempat membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia
yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut disimpan dalam
suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam praktek
sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut pada
dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran
manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan
syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).
Pembuangan tinja atau buang air besar
disebut secara eksplisit dalam dokumen Millenium Development Goals (MDGs).
Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut sebagai sanitasi yang antara lain
meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset
yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs
2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas
tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis
latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau
sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint
Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat
kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan open defecation. Dikategorikan
sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis
kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.
Pembuangan
tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit berbasis
lingkungan, sehingga
untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan rekayasa pada akses ini.
Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas.
Suatu komunitas yang sudah mencapai
status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada tahap pasca ODF diharapkan
akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.
Banyak orang menyindir,
bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi dan kesehatan lingkungan
sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi dampak rumah kaca,
sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi khususnya pada
penggunaan jamban sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di banyak
negara berkembang, seperti Indonesia. Masih tingginya angka buang air besar
pada sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu indikator
rendahnya akses ini.
Dampak serius yang
ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak, berpengaruh baik
secara ekonomi maupun kesehatan
masyarakat. Menurut studi yang dilakukan Wordl Bank, Indonesia
kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp 265.000 per orang
per tahun karena sanitasi yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi
yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100
kejadian dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah
fakta yang seharusnya mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi
kesehatan masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai
adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam sistem perundangan
di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran
undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang
(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,
atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di
Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai
jenis penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di
jamban. Hanya saja harus diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap
sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
B. Saran
- Dalam
satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah
- Dalam
membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar tidak
mencemari air atau tanah di permukaan
- Dalam
membuat Jamban juga perlu di
perhatikan ruangn yang mempunyai atap agar tidak terkena hujan atau panas
matahari
DAFTAR PUSTAKA
Sumijatun, et al. 2005. Konsep Dasar Keperawatan
Komunitas. Jakarta : EGC.
http://abahjack.com/jamban.html#more-463
Tidak ada komentar:
Posting Komentar